[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98

Sejatinya pergerakan mahasiswa di ITB dimulai sejak 1978

Jakarta, IDN Times – Nama Agung Wicaksono sudah tidak asing lagi di bidang korporasi, akademisi dan birokrasi. Pria kelahiran Surabaya, 13 Desember 1976 ini menjabat sebagai  Direktur Operasional dan Pemeliharaan PT. MRT Jakarta.

Ia juga pernah menjabat beberapa posisi strategis dalam pemerintah, seperti Asisten Ahli Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan/UKP4 (2009-2014). Lalu pada era Kabinet Kerja, ia ditugaskan sebagai Wakil Ketua Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Oktober 2014-Agustus 2016).

Nama besar Agung seolah tidak mencerminkan bahwa 20 tahun lalu dia adalah salah satu pemimpin pergerakan mahasiswa yang menumbangkan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Agung yang mengambil jurusan Teknik Industri ITB kala itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Forum Ketua Himpunan Jurusan (FKHJ).

Kepada IDN Times, Agung mengisahkan perjuangan ITB dengan berbagai polemik politik-akademisi yang ada 20 tahun silam.

1. Bagaimana awal mula pergerakan mahasiswa di Bandung?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Instagram/@agungwicak.mrtj by Wirendra

Kalau kita bicara gerakan dan cara kita menyuarakan tidak semata-mata aksi demo di lapangan. Kalau kita lihat kegelisahan terhadap Soeharto sudah cukup lama, tapi mulai memnas dan ITB mulai berperan banyak sejak 1997. Saya inget saya jadi Sekjen 97, dan kita diawali dari suasana kehidupan rakyat yang sulit dan berat, maka kita mengawali langkah dengan membuat pasar murah. Jadi bagi-bagi sembako, yang ramein itu diawali juga sama mahasiswa.

Baca juga: Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum Mahasiswa

2. Itu ketika terjadi krisis moneter?

Iya, 97. Jadi mahasiswa mengawali dengan itu. Bikin pasar murah, bagaimana sembako kita sediakan dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat, untuk meringankan beban. Kemudian kita punya gerakan yang sifatnya pemberdayaan masyarakat, ada yang namanya gerakan, inisiasi dari satgas yaitu Lumbung Kota.

Kalau bicara lumbung kan seperti upaya untuk membangun ketahanan pangan, tapi sebenarnya waktu itu tidak hanya soal pangan. Lumbung kota ini adalah bagaimana elemen-elemen masyarakat bisa saling bergabung membangun solidaritas juga mengumpulkan hal-hal yaang bisa membentengi mereka kalau terjadi sesuatu pada negara ini.

Tapi pada akhirnya ketika gerakan ini harus berujung pada ibarat ikan yang busuk, busuknya kan dari kepala, kepalanya harus dipotong. Kalau kita bersihin badannya terus tapi kepalanya gak dipotog ya susah, pada titik akhirnya ya demo menolak Soeharto itu yang jadi puncaknya.

3. Apa yang mendorong ITB ikut aksi 1998?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Begini boleh katakan tahun 98 yang beda dengan aksi mahasiswa era sekarang. Memang bukan lagi gerakan politik, tapi gerakan moral. Sehingga tidak ada lagi pro-kontra yang nyata antara kontra terhadap Soeharto atau pro, itu tidak ada. Kalau saya dulu mengkategorikan aktivis profesional, karena kita aktivis yang basisnya dari himpunan mahasiswa jurusan di kampus, itu dulu sudah sepaham dan sepakat bahwa kita harus menyuarakan terjadinya reformasi dan artiya itu adalah menurunkan Soeharto.

4. Apakah pihak kampus saat itu mendukung aksi mahasiswa ITB?

Kalau dikatakan apakah pimpinan kampus mendukung? Tidak semudah itu. Saya ingat betul ketika waktu itu saya sebagai Sekjen Forum Ketua Himpunan Jurusan, karena kita belum ada BEM, tidak ada senat mahasiswa perguruan tinggi. Karena kita tidak mau menerima adanya senat mahasiswa yang kita anggap merupakan intervensi pemerintah. Waktu kita menyarakan sikap menolak kepemimpinan Soeharto di awal 1998, situasi tidak semudah itu. Karena Menteri Pendidikan saat itu mantan rektor ITB (Wiranto Arismunandar -red). Alumni ITB juga banya di pemerintahan, banyak menteri dari ITB.

Beberapa alumni ITB yang menjadi Menteri pada masa Soeharto antara lain: Menteri Pertambangan Kabinet Pembangunan VI Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Perhubungan Indonesia Haryanto Dhanutirto, Menteri Koordinator Bidang Produksi dan Distribusi Indonesia Hartarto Sastrosoenarto, Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Siswono Yudo Husodo, Menteri Negara Riset dan Teknologi Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie, Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Sanyoto Sastrowardoyo, Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia Ginandjar Kartasasmita.(-red)

5. Mahasiswa ITB tetap maju meski banyak alumni duduk di pemerintahan kala itu?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Bagi kita saat itu bukan lagi soal ITB menjabat atau tidak. Atau seperti sekarang misalkan presiden dari mana kampusnya, dulu gak ada. Semua sudah satu kata, satu langkah bahwa memang kita sepakat Soeharto harus turun. Apakah itu aktivis masjid, aktivis kiri, aktivis depan, aktivis belakang, semuanya sama. Dan karena itu kalau dikatakan ITB mendukung atau didukung, memang ITB jadi bagian sama-sama gerakan mahasiswa yang sifatnya nasional.

6. Sempat ada kontra dengan alumni yang menjabat menteri?

Saya rasa kalau waktu itu yang menghalangi bukan alumni atau pejabat atas nama alumni. Yang waktu itu melakukan perlawanan rezim, siapa? Yaitu Soeharto dan orde baru. Kita tidak identifikasi ini dia sebagai perwakilan alumni kampus A, kampus B, tidak ada.

Jadi ketika mereka bagian dari rezim dan merasa ingin mempertahankan kekuasaannya, baik itu dari jalur ABRI, jalur birokrasi, atau jalur parpol, Golkar yang paling kuat, ya mereka kalau dikatakan menghalangi, tidak terlalu setuju dengan gerakan mahasiswa saat itu. Tapi sekali lagi mereka semua adalah aktor politik yang melihat perkembangan situasi.

7. Kala itu ada Menteri alumni ITB atau kampus lain yang tidak mendukung Soeharto?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Walaupun mereka alumni kampus tertentu, ya ketika melihat anginnya (pergerakan) seperti itu mereka ikut menyatakan tidak mendukung kepemimpinan Soeharto lagi. Sebagai contoh ada 14 Menteri pada waktu itu yang menyatakan mundur dari kabinet Soeharto. Dipimpin Pak Ginandjar Kartasasmita (Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia) dan di situ Menteri-menteri ada alumni ITB, macem-macem, mereka juga mengatakan tidak bersedia melanjutkan lagi. Karena situasi yang genting dan rakyat menginginkan reformasi.

8. Ketika itu sudah dibentuk FKHJ untuk menyuarakan pergerakan mahasiswa ITB?

Forum Komunikasi Ketua Himpunan Jurusan sebenarnya bukan baru terbentuk pada masa saya. Selama era ITB sejak Dewan Mahasiswa dibubarkan di tahun 80an, dan kita tidak punya satu organisasi terpusat, maka himpunan-himpunan ini selalu berkumpul pada satu forum ini. Di FKHJ dan dipimin oleh Sekjen, saya kemudian ditujuk sebagai sekjen 97. Ketika saya jadi Kahim (Ketua Himpunan) Teknik Industri.

Nah itu terjadi pada saat kondisi suhu negara memanas, kondisi ekonomi memburuk, ketidakpercayaan terhadap pemerintah meluas di mana-mana, rakyat merasa tercekik kondisi hidupnya. Maka bagi kita mahasiwa ITB waktu itu, ini bukan soal kita harus menyuarakan suara kita sebagai ITB lagi, tapi ini ada satu momentum sejarah yang akan datang, dan harus datang, dan kita harus ikut membuat momentum ini terjadi.  Ada waktu itu teman mengatakan, ‘kita tidak menciptakan sejarah, tapi sejarah itu datang ke kita’. Kalau sejarah datang dan kita tidak bersiap dan kita tidak mengantisipasi dengan menyuarakan kepedulian rakyat, maka kita tertinggal.

9. Apa yang pertama dilakukan FKHJ untuk menurunkan Soeharto?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Kalau dibilang langkah pertama waktu itu, yang kita bahas bermalam-malam, adalah bagaimana mahasiswa ITB secara formal menyuarakan sikapnya terhadap pemerintahan Soeharto ini. Secara kelompok-kelompok sudah banyak demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan mahasiswa ITB. Ada kelompok Mahasiswa ITB Untuk Perubahan, ada kelompok Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan, ada macam-macam. Tapi secara organ yang punya representasi massa adalah himpunan jurusan. Makanya FKHJ ini kemudian merasa kita harus memutusan apa sikap kita.

Dan akhirnya ketika memutuskan tidak percaya dengan kepemimpinan Soeharto, ini menjadi sesuatu yang sangat monumental. Karena sejak, kalau sejarah ITB dari 1978 pernah ditutup kampusnya diduduki oleh negara karena menyatakan hal yang sama.

9. Sempat ditutup dan diduduki oleh pemerintah, kenapa bisa terjadi seperti itu?

Ada buku putih yang diluncurkan aktivis ITB kala itu yang menyatakan tidak percaya dengan Soeharto tahun 1978. 1978 waktu itu situasi politiknya ternyata berubah, Soeharto masih kuat, angin berhembus ke kekuatan Soeharto dan tentara digunakan untuk membungkam kampus.

Mahasiswa melakukan gerakan anti kebodohan yang ujungnya mengkritisi Soeharto, Soeharto tidak happy, tiba-tiba ada tembakan kampus, tentara masuk kampus. Rektor ITB kala itu Pak Iskandar Alisjahbana kemudian dicopot oleh pemerintah. Pak Iskandar itu pernah bilang ‘Kok kampus saya ditembaki?’. Bahkan rumah Rektor ditembak. Karena Pak Iskandar pada waktu demo bukan melarang demo tapi malah ikut foto dan lain-lain. Karena itu nature seorang intelektual seperti itu. Waktu itu Pak Iskandar diberhentikan lalu diberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Di tahun 1998 situasinya ini bukan soal politik, soal gerakan moral, ini soal suara bahwa rakyat berkata ‘Soeharto sudah cukup’ dan mahasiwa ITB bersuara sebagai bagaian dari rakyat. Kita tidak mengatakan bahwa kita jadi pelopor atau menciptakan sejarah, tapi kita menjadi bagian dari sejarah itu. Teman-teman saya waktu itu bilang ‘We didn’t create a moment, but the moment came to us,’.

10. Kata-kata itu Anda ucapkan lagi, siapa sebenarnya teman Anda yang mengatakan hal itu?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Ada seorang teman saya yang namanya, saya nyebutnya Lemet, dulu namanya Andriyanto Soekarnen. Dulu dia Pemred (Pimpinan Redaksi) BusinessWeek Indonesia dan dulu pernah wartawan di Forum Keadilan dan Trust. Tahun 98 dia waktu itu menyampaikan kalimat ‘We didn’t create a moment, but the moment came to us,’.

11. Dia yang punya kalimat itu?

Saya gak tau dia dapet dari mana. Tapi saya harus kasih kredit bahwa si Lemet ini yang menyampaikan ke kita dan saya bilang ‘Bener juga’. Kalau dia bilang moment, saya pakai history. Karena dia anak fisika, anak fisika bicaranya momentum hehe.

12. ITB sempat ke Jakarta untuk ikut aksi?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Sempat, jadi tadi kita punya yang namanya satgas KM ITB, adalah yang menjadi kepanjangan tangan. Dalam konteks jumlah massa kalau kita mendesak massa, kita tidak akan bisa sebanyak Trisakti, temen-temen Forkot, FKSMJ, atau UI sekalipun. Tapi kita ikut berperan di sana. Mungkin  ada sekitar 100 orang. karena satgas itu cair.

13. Peran satgas KM ITB saat di Jakarta apa saja?

Di himpunan juga ada orang-orang yang menjadi bagian Satgas itu dan ya pada waktu ke Jakarta beda-beda, ada yang ke Trisakti, ada juga yang ke DPR/MPR. Dan perjuangan kita gak berhenti sampai situ. Ada deklarasi Ciganjur di mana Gusdur, Amien Rais, Megawati, Sultan Hamengkubuwono dipertemukan oleh para mahasiswa. Saat itu satgas ITB ikut memfasilitas bersama FKSMJ. Itu tokohnya Sarbini dari UNTAG dan ada dari Perbanas, dari Universitas Siliwangi.

14. Apa salah satu kontribusi ITB saat pergerakan mahasiswa di Jakarta?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Ada satu simbol gerakan yang diciptakan temen-teman seni rupa ITB yaitu lambang tangan. Simbol tangan yaitu simbol gerakan reformasi yang didesain temen-temen seni rupa ITB dan dipopulerkan sebagai gerakan salam reformasi. Itu ada di Gedung MPR ada poster-posternya. Dari satgas mahasiswa, ada temen-temen seni rupa, salah satu tokohnya namanya Yaya, sekarang ada di Makassar di kampung halamannya. Dia waktu itu mendesain gambar tangan ini. Itulah salah satu kontibusi gerakan mahsiwa ITB dalam konteks gerakan di Jakarta.

15. Bagaimana dengan pergerakan mahasiswa ITB yang tidak ke Jakarta?

Kalau jumlah massa di Bandung, tentu Gedung Sate, benturan di Jalan Ganesha, Dago, itu yang kita lakukan. Tapi tentu tadi, desakan politiknya, harus yang di Jakarta yang berperan, tapi dengan adanya di Bandung ini membuat keyakinan bahwa seluruh Indonesia satu suara.

16. Seperti apa kisah perjuangan mahasiswa ITB untuk berdemo di Gedung Sate?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Waktu itu tidak mudah untuk bisa langsung ke Gedung Sate. Pertama kali kita demo, ya kalau kami ITB, di depan kampus di Jalan Ganesha, awalnya itu saja untuk bisa keluar setengah mati. Karena aparat sudah langsung berdiri di hadapan kita.

Ini yang menarik buat saya, saya ini lulusan SMA yang namanya Taruna Nusantara di Magelang. SMA yang didirikan oleh ABRI, hampir setengah temen-temen sekolah saya jadi anggota TNI dan Polri, saya memilih tidak masuk sipil.

Salah satu petugas yang berjaga di depan yang saya temui, saya ingat betul adalah teman-teman SMA saya, tapi buat saya adalah justru ada satu keyakinan bahwa kita sama-sama sedang melakukan tugas masing-masing untuk negara ini.

Saya yakin yang bersangkutan, masa seorang Perwira pertama, atau Letnan Satu dan dua berada di lapangan dia bukan melakukan ini karena kepentingan rezim ini. Tapi mereka secara profesional karena tugasnya mengamankan situasi.

Sama saya pahami dia juga pahami situasi saya sebagai mahasiswa yang merupakan perpanjangan tangan suara rakyat untuk menyampaikan bahwa kondisi saat ini tidak bisa didiamkan terus. Karenanya pertemuan di Ganesha itu bagi saya sangat berkenang, bertemu dengan temen 1 sekolah.

17. Sempat ada benturan kala itu, apa yang Anda alami?

Jadi, saat itu waktu tembus ke Gedung Sate, sebelumnya sempat dihalangi, yang terjadi bukan lagi, pada waktu itu tidak hanya negosiasi, juga terjadi benturan fisik.

Secara fisik iya (alami benturan fisik), tapi kena pukulan penting mungkin tidak. Tapi bahwa dalam benturan dan desakan itu iya. Karena order mereka (ABRI) pasti bahwa mahasiswa jangan sampai tembus jalan Ganesha, masuk ke Dago, karena langsung ke Gedung Sate nanti.

18. Anda  yakin itu karena pekerjaan mereka sebagai ABRI, bukan karena moral mereka?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Mereka pasti memiliki kesulitan hidup juga, sebagai seorang Bintara atau TNI, Polri atau ABRI mereka mengalmai kesulitan ini. Tapi mereka tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk beralih, dan itu yang kemudian kita rasakan ketika Soeharto jatuh dan mengundurkan diri di 22 Mei, bahkan sebelum proses itu kita merasa yang namanya TNI, Polri itu sangat melindungi kita.

Ya kita tahu Tragedi Trisakti, tentu sangat biadab dengan adanya tembakan. Tapi saya yakin itu ya segelintir daripada elemen ABRI yang secara luas ingin negara ini jangan sampai berantakan.

19. Berapa lama prosesnya hingga mahasiswa ITB bisa keluar dari kampus?

Tidak seketika itu juga, prosesnya panjang, demo itu mungkin sejak Maret, karena itu sidang umum MPR mengukuhkan kembali Soeharto sebagai Presiden.Sejak itu kita terus demo, baru mungkin menjelang Mei (bisa keluar dari kampus).

Kita sudah keluar kampus sampe Ganesha, cuma kemudian dari Ganesha bisa ke Dago tidak mudah, kita juga tidak tiap hari. Tiap kali ada massa, ini yang penting juga yang dinilai strategis dari pernyataan sikap mahasiswa ITB, kalau wakti itu ITB tidak bersikap dengan tegas menolak kepemimpinan Soeharto yang kita khawatirkan juga massa ITB ini akan meletup, akan merasa kecewa, karena ITB para pimpinan mahasiswanya tidak bersikap. Kalau kita tidak mengambil sikap dengan tegas, potensi mereka tembus dengan jumlah massa yang besar atau merek maju dengan kekerasan itu yang kita hindari.

20. Sampai kapan aksi di Bandung berlangsung?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

Puncaknya di Gedung Sate. Di situ sudah satu gerakan rakyat, meski mahasiswa tetap dominan. Tapi pada titik akhirnya saya ingat 20 Mei itu di seluruh Indonesia, dan waktu itu ada rencana Amien Rais mengumpulkan massa di Monas. Tapi itu sebenarnya menimbulkan kekhawatiran, karena kalau massa kumpul di Monas demikian besar, maka potensi bahwa, kalau rezim pada waktu itu kalap dan menghabisi mereka, bisa terjadi seperti di Cina, itu sesutau yang kita hindari.

Apalagi toh DPR/MPR sudah sebagian diduduki mahasiswa. Jadi waktu itu sudah ada proses politik yang terjadi. DPR/MPR sudah terdesak, ketua DPR pada saat itu Harmoko bahkan sebagai orang yang bisa dibilang kepercayaan Soeharto sudah mengatakan untuk meminta agar Presiden mundur. Jadi sebenarnya esklasi sudah terjadi tanpa harus ada massa besar-besaran di Monas yang menimbulkan potensi lebih besar.

21. Anda sendiri sempat turun ke Jakarta saat itu?

Sempat. Di Mei itu beberapa hari setelah Tragedi Trisakti. Tapi cuma sebentar, saya balik lagi ke Bandung. Setelah itu saya banyak turun ke Jakarta setelah Soeharto jatuh. Di sini mulai terjadi beda pandangan di antara mahasiswa.

Ketika Habibie naik, apakah kita anggap ‘Oke reformasi terjadi atau belu?’. Karena Habibie bagian dari rezim Soeharto, saya waktu itu termasuk yang melihat ini belum selesai. Kita tetap turun, datang ke Jakarta, ada yang namanya Tragedi Semanggi. Jadi saya ingat saya di depan MPR waktu Tragedi Semanggi dan Semanggi II berujung dengan Deklarasi Ciganjur.

22. Anda dan ITB menganggap ketika Habibie naik, pergerakan mahasiswa belum selesai, apa yang dilakukan mahasiswa ITB setelah itu?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Mantan aktivis ITB Agung Wicaksono. IDN Times/Helmi Shemi

ITB ke Jakarta, kita harus punya peran yang signifikan dan berkontribusi lah. Kita bantu kuatkan peran-peran teman di Jakarta. Saya ingat, ITB, kita menjalin jaringan dengan teman-teman pemimpin mahasiswa di Jakarta itu.

Kalau di UI Rama Pratama, yang sekarang di PKS, pernah jadi anggota Dewan. Dari UGM ada Ridaya La Ode Ngkowe, dia aktivis di NGO, tapi juga ada di Trasakti FKSMJ, Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta dan Forkot dan Famred juga, terutama teman-teman Atmajaya, UNTAR.

Yang Tragedi Semanggi II dan berlanjut Deklarasi Ciganjur itu tidak semdah itu, rekan mahasiswa setuju, seperti Trisakti, FKSMJ, ITB, sepakat. Waktu itu Deklarasi Ciganjur 4 oposisi pemerintah Gus Dur, Amien Rais, Megawati dan Sri Sultan itu kita pertemukan untuk menunjukkan bahwa kita ingin pemimpin sipil yang mengambil peran di situ. Dan kita meminta mereka bersuara ke masyarakat, tentang bagaimana arah perubahan ini. Tapi teman-teman Forkot gak begitu setuju.

23. Kenapa ada yang tidak setuju?

Mungkin mereka melihat strategi mahasiswa harus di jalan. Harus dengan aksi dan keras. Jadi di situ mungkin kalau ditanya ada perbedaan ya perbedaan di situ. Tapi tujuan kita dengan Forkot tetap sama, bahwa kita ingin pimpinan yang demokratis. Waktu kita bicara Deklarasi Ciganjur kita bicara ada 1 pemerintahan transisi yang bisa dipercaya.

Kita anggap waktu Habibie tidak bisa dipercaya karena masih rezim. Mungkin bagi teman Forkot, mahasiswa tuh gak main, gak masuk level seperti itu. Ini perbedaan wacana dan diskursus antar mahasiswa saat itu. Menurut saya sah-sah saja.

24. Ada peran alumni, di luar yang menjadi Menteri dan pemerintahan pada saat itu?

Kalau bicara alumni, peran-peran alumni yang ada di ITB coba kita dorong. Waktu itu ada Rizal Ramli. Kalau dia dulu bilang blak-blakan sama saya “Udah gak usah banyak ngomong, bisa bawa berapa banyak kalian mahasiswa ITB ke Jakarta”. Saya tidak bisa bantah, tapi logikanya adalah kalau mau bicara banyak-banyakan orang that’s not the game. Ada juga alumni yang cukup siginifikan tapi sudah almarhum, dekat dengan Rizal, pak Arif Arryman, dia ekonom. Dia dulu Ketua Himpunan di Teknik Industri juga, jadi saya banyak diskusi dengan beliau.

Alumni lain ada mantan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Siswono Yudo Husodo, dan adiknya Meilono Suwondo, itu salah satu alumni yang memfasilitasi adik-adik mahasiswa ITB. Itu kita kemudian kita banyak bekerja dengan ibu Karlina Supelli, dia bikin gerakan Ibu Peduli. Jadi mengumpulkan ibu-ibu. Dan waktu itu gerakan mahasiswa banyak didukung gerakan nasi bungkus. Tapi bukan nasi bungkus apa jaman sekarang yang dibayar. hehe. Tapi ini ibu-ibu.

Ada Arifin Panigoro seorang alumni ITB dan pengusaha yang sukses. Dia juga bantu tapi dan terlibat dalam pegerakan.

25. Apa makna keberhasilan tertinggi reformasi saat itu? Atau Anda menganggap belum ada reformasi?

[Wawancara Ekslusif] Aktivis ITB Agung Wicaksono Blak-Blakan Soal Peran ITB dalam Reformasi 98Instagram @agungwicak.mrtj by Wirendra

Keberhasilan tertinggi reformasi menurut saya adalah negara tetap berdiri secara utuh sebagai sebuah NKRI. Orang bilang (reformasi) ya karena turunnya Soeharto, atau orang mengatakan adanya demokrasi, atau perjuangan melawan KKN.

Tapi bagi saya pribadi yang paling penting adalah yang membuka keran demokrasi, yang membuat negara ini bisa tetap berdiri sebagai NKRI, tidak terpecah belah atau hancur lebur. Seperti dulu banyak orang ramalkan karena tidak kuat hadapi krisis, kemudian terjadi disintegrasi. Tapi ternyata tidak. Indonesia tetap berdiri sebagai satu negara NKRI dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia dengan berbagai pesimisme dan skeptimise yang ada saat itu tetap berdiri utuh sebagai NKRI sampai sekarang. Dengan berbagai tantangan baru yang dihadapi. Tantangan mengelola kebebasan, mengelola demokrasi.

Baca juga: Tak Kalah Heroik, Begini Aksi Mahasiswa Surabaya Menuntut Reformasi 1998

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya