#KataMillennial, Berikut Kenangan Mereka Tentang Kerusuhan Mei 1998

IDN Times berbagi kisah-kisah mencekam dari Mei '98

Jakarta, IDN Times – Selama bulan Mei 2018, redaksi menyajikan serangkaian hasil wawancara dengan para pelaku sejarah, melacak jejak Tragedi dan Reformasi Mei 1998, atau 20 tahun lalu.

Kisah-kisah di bawah ini adalah memori ingatan mereka yang kini masuk generasi millennial. Saat Tragedi Mei berlangsung mereka berusia 6-10 tahunan. Buat sebagian, memori kerusuhan dan penjarahan, serta intimidasi yang dirasakan, masih berbekas sampai kini. 

Berikut cerita mereka. Pembaca, kalian bisa berbagi kisah pengalaman saat Tragedi Mei 1998, dengan mengirimkan pengalaman sepanjang 3-4 paragraf ke alamat uni.lubis@idntimes.com. Lebih baik jika dilengkapi foto diri dan nomor kontak.

Kami menunggu kisah kalian paling lambat tanggal 20 Mei 2018.

1. Pinka Tsarina Wima (27 tahun), Creative Editor. #20TahunReformasi98: Solo Bagaikan Kota Mati

#KataMillennial, Berikut Kenangan Mereka Tentang Kerusuhan Mei 1998Dok. IDN Times/Istimewa

“Ketika tragedi Mei 1998 terjadi, saya baru duduk di kelas 1 sekolah dasar. Saat itu, papa sedang dinas di luar pulau Jawa. Adapun saya, mama, adik, dan seorang asisten rumah tangga tinggal di daerah Banjarsari.

Saat itu, mama sedang hamil 6 bulan, adik saya yang terakhir. Ketika kerusuhan terjadi, saya berada di rumah eyang, karena memang sehari-hari tiap pulang sekolah saya dan sepupu akan tinggal di rumah eyang di daerah Gajahan, Solo. Biasanya aku menghabiskan waktu di sana untuk untuk tidur siang, bermain, dan mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR).

Lalu pada malam harinya akan pulang ke rumah masing-masing. Namun waktu itu kakek berkata bahwa kami tidak bisa pulang dan harus menginap. Lagipula, besok sekolah diliburkan karena ada demo besar-besaran di Jalan Slamet Riyadi.

Situasi di jalanan ricuh sehingga tidak bisa dilewati untuk mengantarkan saya pulang. Bahkan, saat itu terjadi pemadaman listrik di hampir seluruh Solo. Saya dan sepupu yang sedang mengerjakan PR  menggunakan penerangan lilin pun mengiyakan untuk menginap.

Namun, tak berapa lama, kakek terlihat terburu-buru mengendarai sepeda motor ke rumah saya setelah mendapat telepon dari mama. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dalam hati saya bertanya, "Kenapa saya tidak diantarkan pulang jika toh kakek tetap pergi ke rumah saya? "

Meski menginap, namun kami tidak tidur. Saya, sepupu, tante, dan nenek pergi ke rumah tetangga yang letaknya ada di luar gang (rumah eyang terletak di dalam kampung). Di sana kami berkumpul bersama warga, melihat kobaran api besar yang menelan habis daerah pertokoan dan perkantoran.

Di tengah kegelapan malam yang pekat, kami bisa dengan jelas melihat lidah api jingga yang menjilat-jilat. Suasana tegang mencekam, kami berdiam cukup lama hingga api memadam dan kondisi cukup tenang untuk pulang. Akhirnya kami baru bisa terlelap setelah langit mulai terang. 

Tak berapa lama, mama yang sedang hamil besar dibonceng kakek datang menjemput saya. Kami berboncengan bertiga, di sepanjang jalan terlihat banyak sisa kebakaran semalam. Sisa ban bekas yang ditumpuk dan hangus teronggok di beberapa titik jalanan. Hotel, bank, bioskop, pusat perbelanjaan ludes terbakar, hanya tersisa kayu-kayu gosong dan puing-puing di sekitarnya. Solo seperti kota mati apalagi di Jalan Slamet Riyadi, sepi, sunyi, tak banyak orang yang berlalu lalang.

Tulisan 'PRO REFORMASI' tersebar di beberapa bangunan yang masih berdiri tegak maupun di gedung yang hampir roboh karena terbakar. Mama bercerita bahwa semalam di daerah rumah juga terjadi hal yang tak jauh beda dengan daerah rumah eyang. Semalam Mama di rumah hanya bersama adik saya yang masih berusia 4 tahun dan seorang asisten rumah tangga tentu ketakutan, apalagi ada segerombolan orang yang meninjau setiap rumah dan mencari rumah keturunan Tionghoa untuk dibakar.

Beberapa orang bahkan mengira mama adalah keturunan Tionghoa karena kulitnya yang putih. Untungnya, para tetangga kompak dan melindungi rumah kami. Karena itulah mama menelepon kakek supaya menginap tanpa membawa saya, mengingat letak rumah eyang dianggap lebih aman karena ada di perkampungan. 

Tiba di rumah, masih terlihat dengan jelas sisa bedak putih yang ditorehkan oleh eyang dan mama di kaca rumah semalam. Saya yang saat itu sudah lancar membaca ingat betul huruf-huruf besar yang disusun asal-asalan berbunyi "WONG JOWO ASLI. PRO REFORMASI". Ada rasa senang yang tiba-tiba datang, bukan karena libur dan tidak sekolah tapi senang karena saya masih bisa pulang ke rumah."

2. Bayu Dwityo Wicaksono (27 tahun), Creative Writer. #20TahunReformasi98 : Kerusuhan Menjalar Ke Pulau Tarakan

#KataMillennial, Berikut Kenangan Mereka Tentang Kerusuhan Mei 1998Dok. IDN Times/Istimewa

"Saat bulan Mei 1998 itu, saya masih berumur 7 tahun. Saat itu saya bersama ayah, ibu dan kakak saya tinggal di Pulau Tarakan, yang saat itu masih menjadi bagian dari Kalimantan Timur. Tak disangka, meski jauh dari Ibukota Jakarta, kerusuhan Mei 1998 menjalar ke Pulau Tarakan.

Saat itu, saya pertama kalinya mengenal istilah "kerusuhan" dan "penjarahan". Kami menyaksikannya melalui salah satu stasiun televisi. Menyadari penjarahan dan penyerangan banyak dikhususkan pada etnis tertentu, kami memutuskan untuk pindah kembali ke kampung halaman kami, di Malang, Jawa Timur.

Menurut kabar dari kakek dan nenek, Malang tidak terkena dampak  kerusuhan Mei 1998. Sebaliknya, dari kabar yang kami dengar, Tarakan cukup mencekam. Beberapa kekerasan hingga pembakaran rumah terjadi di sana.

Kami cukup khawatir karena ayah saya berdarah Tionghoa. Penampilan saya sejak kecil juga kental nuansa Tionghoa.  Sedangkan ibu saya dan kakak saya cenderung berwajah Arab-Jawa, sangat berbeda dengan ayah saya dan saya. Ketika itu saya ingat bahwa orangtua saya cukup panik karena harga tiket pesawat satu kali jalan melonjak tinggi, sampai menembus Rp 2 juta per kursi dari Bandar Udara Juwata, Tarakan ke Juanda, Surabaya.

Namun, kala itu, harga tak jadi soal. Bagi kami, nyawa adalah prioritas. Bahkan, kami  harus meninggalkan begitu saja banyak barang di rumah Tarakan, termasuk mobil Hardtop ayah saya.

Namun, secara mengejutkan, ternyata pesawat yang kami naiki tidak langsung menuju ke Bandara Juanda di Surabaya, tapi harus transit dulu ke Jakarta, yaitu Bandar Udara Soekarno Hatta. Lebih mengkhawatirkannya lagi, waktu transitnya harus ditunda ke hari selanjutnya.

Untungnya, kami memiliki saudara di Jakarta. Kami pun menumpang sementara di sana. Selama perjalanan menuju rumahnya, saya ingat ibu saya membawa 3 buah kain (seukuran hijab) berwarna merah, kuning dan hijau, katanya itu mewakili 3 partai besar saat itu. Tapi saya belum mengerti soal itu.

Saya hanya diperintahkan secara keras oleh ibu saya untuk mengenakan tiap warna kain itu sebagai jilbab saya (menutupi seluruh bagian kepala kecuali muka) sesuai dengan warna rombongan partai yang sedang papasan dengan taksi kami. Begitu juga dengan ayah saya yang menggunakannya sebagai ikat kepala.

Seingat saya, ibu bilang jika tidak dipakai atau salah warna akan berbahaya. Saya menurut saja. Keesokan harinya, ternyata kami mendapat kabar bahwa kerusuhan besar terjadi lagi apalagi setelah sehari sebelumnya dikabarkan ada mahasiswa tertembak dalam demo.

Kami pun memutuskan untuk membatalkan perjalanan ke Malang dan memilih mengamankan diri sepekan di rumah saudara kami. Akhirnya setelah seminggu, kami naik pesawat ke Malang. Sejak itu, kami sekeluarga melanjutkan hidup di Malang, saya dan kakak lanjut bersekolah di Malang dan ayah bekerja di Surabaya."

Baca juga: Kesaksian Aktivis 98 Melihat Reaksi Prabowo dan Wiranto soal Penembakan 4 Mahasiswa

3. Tania Stephanie (26 tahun), Creative Editor. #20TahunReformasi98: Terpaksa Mengungsi ke Bali

#KataMillennial, Berikut Kenangan Mereka Tentang Kerusuhan Mei 1998Dok. IDN Times/Istimewa

"Namaku Tania, dan pada saat kerusuhan itu aku masih berusia 6 tahun. Dibandingkan dengan yang terjadi di Jakarta, suasana saat kerusuhan Mei 1998 di Surabaya masih kondusif. Tidak banyak yang bisa diingat pada saat kejadian kerusuhan, sebab saat itu aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. Namun, satu hal yang pasti, aku masih ingat saat dijemput paksa pulang sekolah oleh kakek dan nenek.

Berdasarkan cerita orangtua (yang pada saat kejadian ini berada di Australia), kakek nenek menjemput dari sekolah sambil membawa barang-barang berharga keluarga kami. Dari situ, kami naik travel malam untuk menuju ke Bali. Kenapa Bali? Karena saat kejadian itu, saudara kami di Bali memberitahu kalau suasananya jauh lebih tenang.

Dua hari di Bali, orangtua dan kakek nenek bertengkar untuk memutuskan memberangkatkan aku dan adikku ke Australia menyusul mereka. Kakek nenek merasa itu hal yang paling aman untuk kami. Namun orangtua merasa takut mengingat usia kami masih cukup belia.

Untungnya, hal itu tak jadi dilakukan. Aku beserta adikku akhirnya menetap di Bali hingga akhir Juni 1998. Kami tidak bisa kembali cepat karena ada beberapa usaha kakek nenek yang dihancurkan.

Apakah efeknya sampai sekarang? Pasti. Bagi kami, keluarga keturunan Tionghoa, kejadian ini seakan menjadi doktrin di otak. Peristiwa ini juga membuat keluarga kami jadi lebih hati-hati dan punya back-up plan kalau hal seperti ini terjadi lagi."

4. Sylvia Alexandra Sudradjat (30 tahun), Head of IDN Creative #20TahunReformasi98: Banyak Panser Berjaga di Gerbang Komplek Rumah

#KataMillennial, Berikut Kenangan Mereka Tentang Kerusuhan Mei 1998Dok. IDN Times/Istimewa

"Sewaktu kerusuhan 13-14  Mei 1998, aku masih berumur sekitar 10 tahun. Saat itu, aku yang merupakan anak bungsu baru saja menyelesaikan ujian akhir di sebuah Sekolah Dasar (SD) swasta Katolik di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan. 

Sebelum liburan, beberapa kali sekolah memulangkan kami lebih cepat karena diperingatkan mengenai kejadian ini. Perasaan tercampur aduk senang dan takut, karena biasanya liburan kelulusan/kenaikan kelas lebih lama daripada liburan caturwulan, tapi kali ini lebih lama lagi karena adanya peristiwa Mei 1998. Kalau tidak salah, waktu itu aku liburan sekitar 2 bulan dari yang biasanya 1 bulanan.

Sebagai keturunan Tionghoa dan beragama Katolik, kami sekeluarga sangat was was. Apalagi sebelumnya kami mendengar pemberitaan mengerikan yang menimpa keturunan Tionghoa di Indonesia.

Rumah kami berlokasi di Cinere. Sebuah daerah dengan komposisi masyarakat yang cukup beragam, walaupun kami tetap warga minoritas. Beruntung, lingkungan gereja kami cukup dekat dengan Komplek Angkatan Laut di daerah Pangkalan Jati. Kondisi ini membuat banyak panser yang melakukan penjagaan di beberapa titik keluar-masuk komplek perumahan.

Selain itu, dengan sedikitnya jumlah keturunan Tionghoa di sana, kami merasa masih cukup aman untuk tinggal di Cinere.  Tidak perlu "kabur" ke kampung halaman kedua orangtuaku di Pulau Bali.

Meskipun masih SD, aku dapat merasakan ketakutan orangtuaku. Salah satu ketakutan yang terlihat adalah mereka belanja kebutuhan pokok dengan jumlah yang jauh lebih banyak daripada biasanya.  Kami memang mempersiapkan diri untuk tidak keluar rumah selama beberapa waktu. Kakak lelakiku yang sewaktu itu baru lulus SMP pun sudah diberitahu tentang semua letak barang yang berpotensi jadi senjata: di atas kulkas ada golok, di dekat pintu utama ada beberapa stik golf dan di kamar orangtua kami terdapat tongkat bambu besar yang diletakkan di sebelah pintu.

Setiap malam, kami tidur berempat di kamar orangtua kami, supaya mudah kabur jika ada apa-apa terjadi. Ayah dan kakakku selalu siap jika dipanggil, beberapa kali dalam sehari mereka bergantian dengan anggota lingkungan untuk bersama-sama menjaga pos-pos terdekat rumah kami. Ayahku selalu keluar membawa stik golf, kakakku bawa golok. Sedangkan ibuku di rumah berjaga jika ada apa-apa serta menenangkan aku.

Di satu waktu, pada saat kakak dan ayahku keluar berjaga, aku ingat aku mengeluarkan kekhawatiranku (dan tidak menghiraukan gengsiku yang tidak mau dicap penakut) akhirnya aku bilang, "Aku takut!".

Tapi tidak butuh waktu lama untuk menenangkanku, karena dengan hiburan ibu, aku kembali tenang dan tidak panik. Setelah beberapa waktu, akhirnya kami memberanikan diri keluar dengan mobil untuk menjemput oma dan opa yang kebetulan sedang main ke Jakarta sejak sebelum kejadian Mei 1998. Kami menjemput  oma ke Cikarang, tempat tinggal omku.

Dari situ aku bisa melihat sisa-sisa kerusuhan: gedung dan ruko di kiri-kanan ada noda terbakar, beberapa pagar rusak dan beberapa toko sudah kosong karena dijarah. 

Tidak terbayangkan bagaimana perasaan korban yang sempat terkena imbasnya dan berhadapan langsung dengan preman-preman yang seolah sudah kesetanan."

5. Angel Febriana (29 tahun), Finance and Accounting. #20TahunReformasi98: Terpaksa Mengungsi ke Rumah Danrem

#KataMillennial, Berikut Kenangan Mereka Tentang Kerusuhan Mei 1998Dok. IDN Times/Istimewa

"Saya Angel Febriana. Saat kejadian Mei 1998 berlangsung, saya berumur 9 tahun. Kala itu, saya dan keluarga tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Waktu kejadian tersebut, siang hari saya lupa tanggal berapa, tiba-tiba saya sudah dijemput oleh sopir, saya langsung diantarkan pulang ke rumah. 

Kebetulan rumah saya berada di depan kantor kepolisian daerah NTB. Tidak butuh waktu lama, orangtua saya yang waktu itu sedang buka toko, langsung pulang juga menuju ke rumah beserta dengan keluarga lainnya, yaitu om dan tante.

Dari orangtua, saya mendengar cerita bahwa semua rumah orang Tionghoa waktu itu sudah diberikan tanda dipagarnya menggunakan cat, yang memiliki arti bagi orang yang mengerti artinya.

Saat itu rumah om dan tante diberi tanda tersebut. Akhirnya, semua keluarga mengungsi ke rumah saya. Selain letaknya persis di depan Mapolda, rumah kami juga bersebelahan dengan kediaman Komandan Resor Militer (Danrem) Lombok. 

Malam harinya, kami semua melihat di depan rumah kami, polisi berhadapan dengan massa. Sedangkan rumah kami berada di tengah-tengahnya. Suara tembakan pun terdengar. Belakangan, saya tahu bahwa itu adalah suara tembakan gas air mata.

Saat itu, yang bisa kami lakukan hanya menyaksikan dari dalam kamar orangtua saya. Kebetulan kaca jendela kamar orang tua saya waktu itu menghadap keluar. Merasa cemas, akhirnya kami memutuskan untuk menjebol tembok samping rumah kami, agar kami bisa berlindung di rumah Danrem.

Singkat kata, kami dibantu oleh Danrem, dikawal ke bandara sebelum akhirnya terbang ke Bali untuk mengungsi.

Yang saya pikirkan waktu itu adalah: Apa salah kami? Kami tidak pernah menginginkan milik kalian, kenapa kalian menginginkan milik kami? Apa kalian tidak takut masuk neraka? Karena membakar bangunan dan menjarah rumah orang?"

Baca juga: Kronologi Reformasi Mei 1998, Terjungkalnya Kekuasaan Soeharto

Topik:

Berita Terkini Lainnya