4 Alasan Kenapa AJI dan IJTI Minta Hari Pers Nasional Direvisi

Hmm..apa aja ya alasannya?

Jakarta, IDN Times - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mendesak Dewan Pers dan Pemerintah segera merevisi Hari Pers Nasional yang selama ini diperingati setiap 9 Februari.

Sebab tanggal tersebut dinilai tak layak dijadikan peringatan Hari Pers Nasional. "Sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)," demikian pernyataan tertulis Aji dan PJTI.

Tradisi memperingati Hari Pers Nasional mulai digulirkan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 berisi penetapan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional (HPN). 

AJI dan IJTI menilai Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 tersebut saat ini sudah tidak relevan lagi untuk menjadikan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional.

"Setelah Seoharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi. Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers," tulis mereka.

Selain itu ada beberapa alasan lain mengapa AJI dan IJTI meminta agar Hari Pers Nasional direvisi tanggalnya. Berikut di antaranya:

1. PWI bukan satu-satunya organisasi wartawan

4 Alasan Kenapa AJI dan IJTI Minta Hari Pers Nasional Direvisimataram.aji.or.id

Seperti disebutkan di atas, 9 Februari yang selama ini diperingati sebagai Hari Pers Nasional sejatinya adalah hari kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Padahal, sejak SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 dicabut, praktis PWI bukan satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Sementara PWI sendiri dianggap bukanlah representasi dari organisasi-organsiasi wartawan yang ada saat ini.

Baca juga: 7 Tokoh Nasional yang Pernah Menggeluti Profesi Jurnalis

2. Hari Pers Nasional 9 Februari peninggalan Orde Baru

4 Alasan Kenapa AJI dan IJTI Minta Hari Pers Nasional Direvisi

 

Alasan lain yang membuat AJI dan IJTI meminta Hari Pers Nasional 9 Februari direvisi adalah karena mereka menganggap tradisi ini adalah peninggalan Orde Baru di bidang pers. "Meski rujukannya sudah tak ada lagi," tulis AJI dan IJTI.

3. Hari Pers Nasional tanpa payung hukum 

4 Alasan Kenapa AJI dan IJTI Minta Hari Pers Nasional DirevisiUnplash/Aleksi Tappura

 

AJI dan IJTI mengatakan selama ini Hari Pers Nasional menggunakan rujukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Sementara regulasi itu sudah direvisi tahun 1982 dengan keluarnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982. 

Undang-undang ini pun tak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nonor 40 tahun 1999.
 "Perkembangan itulah yang memicu lahirnya ide untuk merevisi Hari Pers Nasional," tulis AJI dan IJTI. 

4. Peringatan Hari Pers Nasional menggunakan APBN/APBD

4 Alasan Kenapa AJI dan IJTI Minta Hari Pers Nasional DirevisiAntara Foto/Iggoy el Fitra

Alasan lain penolakan AJI dan IJTI terhadap peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari adalah peringatan Hari Pers Nasional yang selalu menggunakan dana APBN/APBD.

"Tema dan kegiatan yang dipilih juga seringkali tidak menjawab masalah pers kontemporer," tulis mereka.

AJI Dan IJTI mencontohkan, pada HPN yang digelar 9 Februari 2018 di Sumatera Barat, temanya yang diangkat adalah soal wisata, yaitu "Meminang Keindahan di Padang Kesejahteraan.” 

Padahal masih banyak agenda mendesak bidang pers yang lebih perlu dibahas, seperti kebebasan pers yang masih dalam ancaman, profesionalisme media yang masih memprihatinkan, serta kesejahteraan pekerja media yang masih jauh dari harapan.

5. PWI: 9 Februari untuk menghargai tokoh-tokoh pers

4 Alasan Kenapa AJI dan IJTI Minta Hari Pers Nasional DirevisiAntara Foto/Iggoy el Fitra

Ketua Dewan kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang mengatakan dijadikannya 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional antara lain karena pemerintah saat itu menghargai tokoh-tokoh pers yang berhasil menghimpun puluhan organisasi pers dalam satu wadah, yakni PWI.

Ilham mengatakan, pada masa Orde Baru, PWI memang dekat dengan kekuasaan. Bahkan Ketua PWI Pusat saat itu, yakni Harmoko, duduk di kursi kabinet. Namun, Ilham melanjutkan, kini PWI telah melarang anggotanya terlibat politik praktis. "Wartawan harus independen," katanya seperti dikutip dari media.

Baca juga: Saat Jokowi Berpura-pura Menjadi Jurnalis

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya