Amnesty: ‘Kekerasan Terhadap Minoritas Makin Subur di Seluruh Dunia’

Tapi di sisi lain, gerakan HAM oleh sipil pun meningkat...

Nay Pyi Taw, IDN Times - Tahun lalu, dunia menyaksikan perlakuan diskiriminatif pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya yang berujung pada pembersihan etnis yang brutal. Rupanya, itu hanya contoh tindakan persekusi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas terpinggirkan yang terjadi di seluruh dunia.

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Amnesty Internastional pada Kamis (22/2/2018),  penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia makin memprihatinkan. Mereka menyatakan bahwa "narasi penuh kebencian oleh pemerintah di seluruh dunia" telah dimanfaatkan oleh golongan tertentu, untuk melakukan tindak diskriminasi terhadap minoritas yang posisinya rentan sejak dulu.

"Momok kebencian dan ketakutan semakin besar di seluruh dunia, dan kita hanya memiliki sedikit pemerintahan yang membela hak asasi manusia di masa-masa sulit ini. Duterte (Presiden Venezuela) Maduro, Putin, Trump, dan (Presiden China) Xi secara tidak sengaja telah merusak hak jutaan orang," ujar sekretaris jenderal Amnesty International, Salil Shetty seperti dilansir oleh The Guardian.

"Kami sudah melihat keadaan masyarakat yang didorong untuk membenci, menyalahkan dan menumbuhkan rasa takur terhadap minoritas. Itu semua berujung pada kampanye militer yang mengerikan serta pembersihan etnis. Contoh nyatanya adalah nasib orang-orang Rohingya di Myanmar.”

"Respon yang lemah terhadap kejahatan kemanusiaan dan perang yang terjadi di Myanmar hingga Suriah dan Yaman, adalah bukti nyata kurangnya kepemimpinan yang tegas dengan penegakan hak asasi manusia. Banyak pemerintahan yang tanpa malu-malu mengubah keadaan di mana keamanan sulit dicapai."

1. Tindakan persekusi terhadap minoritas yang paling diingat tahun 2017 lalu tentu saja kekerasan yang dilakukan militer Myanmar kepada etnis Rohingya. 650 ribu orang terpaksa mengungsi, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak

Amnesty: ‘Kekerasan Terhadap Minoritas Makin Subur di Seluruh Dunia’The Guardian

Untuk wilayah Asia Pasifik, Amnesty mengatakan ada banyak kasus kegagalan pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakatnya sendiri. Mereka bahkan terlibat secara aktif dalam penganiayaan terhadap warganya sendiri.

Krisis Rohingya di Myanmar, yang oleh PBB digambarkan sebagai "contoh nyata pembersihan etnis", membuat lebih dari 650.000 orang Rohingya melarikan diri menuju Bangladesh. Di sana, mereka tinggal di kamp darurat dengan kondisi memprihatinkan.

Namun penganiayaan terhadap Rohingya hanyalah kegagalan. Amnesty berpendapat bahwa selama beberapa dekade terakhir, dunia gagal mencegah "situasi yang menjadi lahan subur untuk kejahatan dan kekejaman massal".

"Tanda-tanda di Myanmar sudah lama terlihat : terjadi diskriminasi dalam skala besar dan pemisahan etnis telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Selama bertahun-tahun, orang Rohingya secara rutin dianggap sebagai golongan berbahaya dan berujung pada pembatasan mereka untuk memiliki hidup yang bermartabat. Diskriminasi dan rasa paranoid pada mereka kemudian menjadi kekerasan massal yang tragis, konsekuensi tersebut jelas tidak dapat diatasi dengan mudah."

2. Amnesty International juga menyoroti pengepungan dan serangan membabi buta terhadap penduduk Ghouta selama beberapa hari terakhir

Amnesty: ‘Kekerasan Terhadap Minoritas Makin Subur di Seluruh Dunia’The Atlantic

Krisis Rohingya menghadapi masa depan yang sulit. Pemerintah Bangladesh berusaha untuk mengatasi tambahan pengungsi, ketiadaan negara yang bersedia menerima mereka, serta para pengungsi yang enggan kembali atas alasan kekerasan yang masih membekas di ingatan.

"Jika pengungsi Rohingya dipaksa untuk kembali ke Myanmar, mereka harus bergantung kepada militer yang mengusir mereka. Orang-orang ini akan terus menghadapi tindakan diskriminasi dan pemisahan ras yang didukung oleh pemerintah," tulis Amnesty dalam laporannya.

Selain itu, mereka juga memberi penilaian atas penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia, regional, dan 159 negara.

Mereka juga menyoroti kekejaman yang sedang berlangsung dalam perang sipil Suriah. Dalam empat hari terakhir, pemboman wilayah sipil di Ghouta Timur telah membunuh 310 orang, banyak di antaranya adalah anak-anak. Sekjen PBB, Antonio Guterres bahkan menyebut kota yang terkepung itu sebagai "neraka di bumi".

"Pemerintah dan pasukan sekutu, termasuk Rusia, melakukan serangan membabi buta warga dan fasilitas sipil menggunakan bom udara dan artileri, termasuk senjata kimia, membunuh dan melukai ratusan lainnya," tulis mereka.

"Pasukan pemerintah terus melakukan pengepungan di daerah padat penduduk, membatasi akses terhadap bantuan kemanusiaan dan medis kepada ribuan warga sipil."

3. Di sisi lain, pemimpin negara banyak memanfaatkan situasi ekonomi mereka yang tak stabil untuk kemudian menimpakan kesalahan kepada minoritas. Salah satunya, tentu saja Trump

Amnesty: ‘Kekerasan Terhadap Minoritas Makin Subur di Seluruh Dunia’Washington Examiner

Yang unik, laporan tersebut dirilis di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat, negara yang dikenal karena menjunjung tinggi penegakan HAM. David Griffiths selaku petinggi Amnesty International memilih tempat tersebut atas alasan "retorika penuh kebencian Presiden (Donald) Trump telah menjadi kenyataan."

"Ada hubungan yang rumit antara pelanggaran hak asasi manusia dan kesenjangan sosial," ujar Griffiths kepada Deutsche Welle. "Tapi salah satu cara kami melihat dua hal itu terhubung adalah melihat berapa banyak pemimpin yang menggunakan ketakutan masyarakat akibat rapuhnya ekonomi mereka untuk mempromosikan kebencian dan ketakutan."

Di sisi lain, keselamatan aktivis HAM makin mengkhawatirkan. Laporan tersebut mengatakan bahwa setidaknya 312 aktivis terbunuh pada 2017 karena aktivitas mereka. Jurnalis juga makin sering menjadi sasaran penangkapan.

"Bukan hanya pembunuhan, tapi juga intimidasi dan pelecehan, membuat hidup  menjadi sangat sulit bagi mereka yang memilih untuk membela hak asasi manusia," kata Griffiths. "Dan ancaman itu datang dari banyak pihak yang berbeda, entah itu pemerintah, atau kelompok bersenjata, atau perusahaan atau dari pihak lain."

4. Namun di tahun 2017, gerakan HAM oleh sipil pun meningkat drastis. Di antaranya #MeToo yang melawan kekerasan dan pelecehan seksual

Amnesty: ‘Kekerasan Terhadap Minoritas Makin Subur di Seluruh Dunia’Pittsburgh Post-Gazette

Rupert Colville, juru bicara Komisi Tinggi HAM PBB, mengatakan bahwa kondisi hak asasi manusia "semakin memburuk di banyak tempat" di seluruh dunia.

"Tampaknya orang tidak peduli dengan HAM sekarang ini. Itu sangat mengkhawatirkan karena kita bisa saja mengulangi banyak hal mengerikan yang terjadi dalam sejarah," kata Colville.

Namun tidak semua hal yang berhubungan dengan HAM memburuk di tahun 2017. Pemerintah yang tidak peduli terhadap masalah HAM membuat masyarakat akhirnya berjuang mendapat haknya sendiri.

Ada kampanye untuk mengizinkan perempuan mengemudi di Arab Saudi; gerakan #MeToo melawan pelecehan dan kekerasan seksual; protes "Not in my name" di India untuk melawan Islamofobia, serta kekerasan terhadap Muslim dan Dalit; gerakan demokrasi di Zimbabwe; dan kampanye kesetaraan pernikahan yang sukses di negara-negara seperti Australia dan Taiwan.

Achmad Hidayat Alsair Photo Verified Writer Achmad Hidayat Alsair

Separuh penulis, separuh orang-orangan sawah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya